Mengatasi Kemiskinan Yang Ada Di Negara Indonesia
Setiap tahunnya angka kemiskinan di negara Indonesia semakin
meningkat, hal ini terjadi karena banyak faktor. Di antaranya adalah
faktor kurangnya pengetahuan masyarakat tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi yang setiap tahunnya terus berkembang pesat, faktor pernikahan
dini juga menjadi penyebab menambahnya angka kemiskinan di negara ini,
adapun faktor yang lain yaitu tingginya angka kelahiran dibandingkan
angka kematian.
Karena besarnya angka kelahiran yang ada di negara ini, pemerintah
membuat program Keluarga Berencana (KB). Pemerintah juga manyarankan
kepada masyarakat untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB) ini.
Namun nampaknya program tersebut tidak begitu membuahkan hasil yang
signifikan. Bagi para kaum muda program Keluarga Berencana ini kurang
diperhatikan, liat saja contohnya masih banyak bayi yang lahir di luar
pernikahan. Sebenarnya program Keluarga Berencana ini sangat baik untuk
mengurangi jumlah penduduk di negara indonesia yang setiap tahunnya
terus dan terus meningkat, akibatnya adalah banyaknya pengangguran yang
ada di negara ini.
Seiring bertambahnya angka kemiskinan di negara indonesia bertambah
pula angka kriminalitas yang ada di indonesia. Rata-rata masyarakat yang
hidup di bawah garis kemiskinan nekat melakukan perbuatan kriminal,
faktor biaya atau beban hiduplah yang membuat mereka nekat melakukan hal
tersebut. Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi
angka kemiskinan, di antaranya adalah dengan melakukan program beras
bersubsidi (bulog). Namun tidak semua masyarakat menikmati beras
bersubsidi tersebut, hal ini terjadi karena banyaknya oknum-oknum yang
ada di pemerintahan melakukan korupsi semata-mata hanya untuk meperkaya
dirinya sendiri tanpa memikirkan nasib rakyat miskin. Beras yang
seharusnya untuk mereka, tapi mereka tidak dapat menikmati beras
tersebut.
Sungguh kronis kondisi negara ini, banyaknya oknum pemerintahan yang
melakukan tindak korupsi semata-mata hanya untuk memperkaya dirinya
sendiri. Rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan hanya bisa
berharap kapan mereka bisa menikmati hidup layak tanpa harus melakukan
tindak kriminalitas. Emang tidak semua masyarakat yang berada di bawah
garis kemiskinan melakukan tindak kriminalitas. Andai saja pemerintah
membuka lahan usaha untuk mereka agar mereka tidak melakukan perbuatan
yang tersebut.
Cara/Solusi Mengatasi Kemiskinan di Indonesia :
Pada Hari Kemiskinan Internasional lalu berbagai pihak menyatakan
perang melawan kemiskinan. Ditargetkan pada tahun 2015 Indonesia bebas
dari kemiskinan. Ini tekad yang bagus.
Namun selain tekad, harus didukung dengan niat yang ikhlas, perencanaan,
pelaksanaan dan juga pengawasan yang baik. Tanpa itu semua hanya omong
belaka.
Menghilangkan kemiskinan boleh dikata mimpi atau hanya janji surga. Tapi
mengurangi kemiskinan sekecil mungkin bisa dilakukan. Ada beberapa
program yang perlu dilakukan agar kemiskinan di Indonesia bisa
dikurangi.
Pertama, meningkatkan pendidikan rakyat. Sebisa mungkin pendidikan
harus terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Banyaknya sekolah yang
rusak menunjukkan kurangnya pendidikan di Indonesia. Tentu bukan hanya
fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji dan tidak mengajar lagi.
Dulu pada tahun 1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada sekolah pagi dan
ada sekolah siang sehingga 1 bangunan sekolah bisa dipakai untuk 2
sekolah dan melayani murid dengan jumlah 2 kali lipat. Sebagai contoh di
sekolah saya ada SDN Bidaracina 01 Pagi (Sekarang berubah jadi Cipinang
Cempedak 01 Pagi) dan SDN Bidaracina 02 Petang. Sekolah pagi mulai dari
jam 7.00 hingga 12.00 sedang yang siang dari jam 12:30 hingga 17:30.
Satu bangunan sekolah bisa menampung total 960 murid!
Ini tentu lebih efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan
gedung sekolah bisa dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang
berpendapat bahwa hal itu bisa mengurangi jumlah pelajaran karena jam
belajar berkurang. Padahal tidak. Sebaliknya jam pelajaran di sekolah
terlalu lama justru membuat siswa jenuh dan tidak mandiri karena
dicekoki oleh gurunya. Guru bisa memberi mereka PR atau tugas yang
dikerjakan baik sendiri, bersama orang tua, atau teman-teman mereka. Ini
melatih kemandirian serta kerjasama antara anak dengan orang tua dan
juga dengan teman mereka.
Selain itu biaya untuk beli buku cukup tinggi, yaitu per semester atau
caturwulan bisa mencapai Rp 200 ribu lebih. Setahun paling tidak Rp 400
ribu hanya untuk beli buku. Jika punya 3 anak, berarti harus
mengeluarkan uang Rp 1,2 juta per tahun. Hanya untuk uang buku orang tua
harus mengeluarkan 130% lebih dari Upah Minimum Regional (UMR) para
buruh yang hanya sekitar 900 ribuan.
Untuk mengurangi beban orang tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa
menyediakan Perpustakaan Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah meminjamkan
buku-buku Pedoman (waktu itu terbitan Balai Pustaka) kepada seluruh
siswa secara gratis. Untuk soal bisa didikte atau ditulis di papan
tulis.
Ini beda dengan sekarang di mana buku harus ditulis dengan pulpen
sehingga begitu selesai dipakai harus dibuang. Tak bisa diturunkan ke
adik-adiknya.
Saat ini biaya SPP sekolah gratis hanya mencakup SD dan SMP (Meski
sebetulnya tetap bayar yang lain dengan istilah Ekskul atau Les) sedang
untuk Perguruan Tinggi Negeri biayanya justru jauh lebih tinggi dari
Universitas Swasta yang memang bertujuan komersial. Untuk masuk UI
misalnya orang tahun 2005 saja harus bayar uang masuk antara Rp 25
hingga 75 juta. Padahal tahun 1998 orang cukup bayar sekitar Rp 300 ribu
sehingga orang miskin dulu tidak takut untuk menyekolahkan anaknya di
PTN seperti UI, IPB, UGM, ITS, dan sebagainya. Meski ada surat edaran
Rektor bahwa orang tua tidak perlu takut akan bayaran karena bisa minta
keringanan, namun teori beda dengan praktek.
Boleh dikata orang-orang miskin saat ini mimpi untuk bisa masuk ke PTN.
Jika pun ada paling cuma segelintir saja yang mau bersusah payah
mengurus surat keterangan tidak mampu dan merendahkan diri mereka di
depan birokrat kampus sebagai Keluarga Miskin (Gakin) untuk minta
keringanan biaya.
Tanpa pendidikan, sulit bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi bangsa yang maju.
Kedua, pembagian tanah/lahan pertanian untuk petani. Paling tidak
separuh rakyat (sekitar 100 juta penduduk) Indonesia masih hidup di
bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas petani Indonesia
memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak punya tanah
dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar desa hingga
jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan beberapa hektar!
Artinya jika 1 hektar bisa menghasilkan 6 ton gabah dan panen 2 kali
dalam setahun serta harga gabah hanya Rp 2.000/kg, pendapatan kotor
petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp 800 ribu/bulan. Jika
dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk dengan asumsi 50%
dari pendapatan mereka, maka penghasilan petani hanya Rp 400 ribu/bulan
saja.
Pada saat yang sama 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652 pengusaha.
Ini menunjukkan belum adanya keadilan di bidang pertanahan. Dulu pada
zaman Orba (Orde Baru) ada proyek Transmigrasi di mana para petani
mendapat tanah 1-2 hektar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Transportasi, rumah, dan biaya hidup selama setahun ditanggung oleh
pemerintah.
Program itu sebenarnya cukup baik untuk diteruskan mengingat saat ini
Indonesia kekurangan pangan seperti beras, kedelai, daging sapi, dsb
sehingga harus impor puluhan trilyun rupiah setiap tahunnya.
Jika petani dapat tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi
Rp 48 juta per tahun atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga.
Memang biaya transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama
setahun, rumah, lahan, dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta
per keluarga. Dengan anggaran Rp 10 trilyun per tahun ada 250.000
keluarga yang dapat diberangkatkan per tahunnya.
Seandainya tiap keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar menghasilkan
12 ton beras per tahun, maka akan ada tambahan produksi sebesar 6 juta
ton per tahun. Ini sudah cukup untuk menutupi kekurangan beras di dalam
negeri.
Saat ini dari 2 juta ton kebutuhan kedelai di Indonesia (sebagian untuk
tahu dan tempe), 60% diimpor dari luar negeri. Karena harga kedelai luar
negeri naik dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.500/kg, para pembuat tahu dan
tempe banyak yang bangkrut dan karyawannya banyak yang menganggur.
Jika program transmigrasi dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam
adalah produk di mana kita harus impor seperti kedelai, niscaya
kekurangan kedelai bisa diatasi dan Indonesia tidak tergantung dari
impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp 8 trilyun per tahunnya. Ini
akan menghemat devisa.
Ketiga, tutup bisnis pangan kebutuhan utama rakyat dari para pengusaha
besar. Para petani/pekebun kecil sulit untuk mengekspor produk mereka.
Sebaliknya para pengusaha besar dengan mudah mengekspor produk mereka
(para pengusaha bisa menekan/melobi pemerintah) sehingga rakyat justru
bisa kekurangan makanan atau harus membayar tinggi sama dengan harga
Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya harga minyak kelapa
hingga 2 kali lipat lebih dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan akibat
kenaikan harga Internasional. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Jika produk utama seperti beras, kedelai, terigu dikuasai oleh pengusaha, rakyat akan menderita akibat permainan harga.
Selain itu dengan dikuasainya industri pertanian oleh pengusaha
besar, para petani yang merupakan mayoritas dari rakyat Indonesia akan
semakin tersingkir dan termiskinkan.
Keempat, lakukan efisiensi di bidang pertanian. Perlu dikaji apakah
pertanian kita efisien atau tidak. Jika pestisida kimia mahal dan
berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator alami seperti burung
hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk kimia mahal dan
berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk hijau/kompos. Semakin murah
biaya pestisida dan pupuk, para petani akan semakin terbantu karena
ongkos tani semakin rendah.
Jika membajak sawah bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa harus
memakai traktor? Dengan sapi/kerbau para petani bisa menternaknya
sehingga jadi banyak untuk kemudian dijual. Daging dan susunya juga bisa
dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan butuh bensin/solar yang
selain mahal juga mencemari lingkungan.
Kelima, data produk-produk yang masih kita impor. Kemudian teliti
produk mana yang bisa dikembangkan di dalam negeri sehingga kita tidak
tergantung dengan impor sekaligus membuka lapangan kerja. Sebagai contoh
jika mobil bisa kita produksi sendiri, maka itu akan sangat menghemat
devisa dan membuka lapangan kerja. Ada 1 juta mobil dan 6,2 juta sepeda
motor terjual di Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 200 trilyun/tahun.
Jika pemerintah menyisihkan 1% saja dari APBN yang Rp 1.000
trilyun/tahun untuk membuat/mendukung BUMN yang menciptakan kendaraan
nasional, maka akan terbuka lapangan kerja dan penghematan devisa
milyaran dollar setiap tahunnya.
Keenam, stop eksploitasi/pengurasan kekayaan alam oleh perusahaan asing.
Kelola sendiri. Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing
dengan alasan kita tidak mampu dan sedang transfer teknologi.
Kenyataannya dari tahun 1900 hingga saat ini ketika minyak hampir habis
kita masih ”transfer teknologi”.
Padahal 95% pekerja dan insinyur di perusahaan-perusahaan asing adalah
orang Indonesia. Expat paling hanya untuk level managerial. Bahkan
perusahaan migas Qatar pun di Kompas sering pasang lowongan untuk
merekrut ahli migas kita. Saat ini 1.500 ahli perminyakan Indonesia
bekerja di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar. Bahkan
ada Doktor Perminyakan yang bekerja di negara Eropa seperti Noewegia!
Sekilas kita untung dengan pembagian 85% sedang kontraktor asing hanya
15%. Padahal kontraktor asing tersebut memotong terlebih dulu pendapatan
yang ada dengan cost recovery yang besarnya mereka tentukan sendiri.
Bahkan ongkos bermain golf dan biaya rumah sakit di luar negeri
ex-patriat dimasukkan ke dalam cost recovery, begitu satu media
memberitakan. Akibatnya di Natuna sebagai contoh, Indonesia tidak dapat
apa-apa. Kontraktor asing sendiri, seperti Exxon sendiri mengantongi
keuntungan hingga Rp 360 trilyun setiap tahun dari pengelolaan minyak
dan gas di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut PENA, pada tahun
2008 saja sekitar Rp 2.000 trilyun/tahun dari hasil kekayaan alam
Indonesia justru masuk ke kantong asing. Padahal itu bisa dipakai untuk
melunasi hutang luar negeri dan mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bahkan untuk royalti emas dan perak di Papua, Freeport yang cuma “tukang
cangkul” dapat 99% sementara bangsa Indonesia sebagai pemilik emas cuma
dibagi 1%! Bagaimana bisa kaya? Jadi kalau didapat emas dan perak
sebesar Rp 100 trilyun, Indonesia cuma dapat Rp 1 trilyun saja!
Banyak perusahaan asing beroperasi menguras kekayaan alam Indonesia.
Tetangga saya yang menambang emas bekerjasama dengan penduduk lokal
dengan memakai alat pahat dan martil saja bisa mendapat Rp 240 juta per
bulan, bagaimana dengan Freeport yang memakai banyak excavator dan
truk-truk raksasa yang meratakan gunung-gunung di Papua?
Agar Indonesia bisa makmur, maka Indonesia harus mengelola sendiri kekayaan alamnya.
Sumber:
http://www.kompas.com
No comments:
Post a Comment